LP dan Konsep Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik (CKD)

 
Laporan Pendahuluan Dan Konsep Asuhan Keperawatan pada gagal ginjal kronik.

Laporan Pendahuluan Dan Konsep Asuhan Keperawatan pada
Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disesase)

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia yang menenpati urutan pertama masalah urologi yang diikuti infeksi saluran kemih (ISK) dan Benigh Prostatic Hyperplasia (BPH) (Rahman, 2014). Pada gagal ginjal kronik, ginjal tidak mampu untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan akumulasi sisa metabolisme sehingga menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (Sari, Purwanti & Indrastuti, 2016). Pada gagal ginjal stadium akhir dapat menyebabkan berbagai komplikasi berat seperti penumpukan cairan di paru atau edema paru, anemia, hiperlipidemia, penyakit jantung, osteodistrofi renal, gangguan keseimbangan asam-basa, malnutrisi dan gangguan sistem saraf pusat (Nicolas, 2012)
Insiden gagal ginjal kronis cukup tinggi dari tahun ke tahun. Menurut WHO tahun 2013 pasien GGK yang melakukan hemodialisis di dunia berjumlah 1,4 juta dengan insiden pertumbuhan 8% per tahun (Oxtavia, Jumiani & Lestari, 2013). Gagal ginjal kronik cenderung kurang tertangani secara baik banyak terjadi di negara berkembang seperti di Indonesia, pada tahun 2015 Indonesia berada di urutan ke empat sebagai negara terbanyak penderita gagal ginjal kronik dengan jumlah penderita mencapai 16 juta jiwa (Sari, Purwanti & Indrastuti, 2016). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 prevalensi gagal ginjal kronis dilihat dari diagnosis dokter di provinsi Jawa Timur sebesar 0,3% dan tercatat pasien GGK pada tahun 2012 sebanyak 3.086 pasien. Sedangkan data dari Rekam Medik RSD dr. Soebandi Jember di Ruang Adenium, penderita gagal ginjal kronik pada tahun 2014 sebanyak 17%, pada tahun 2015 sebanyak 7,8% dan pada bulan Januari - Juni tahun 2016 sebanyak 14,9% (Rekam Medik RSD dr. Soebandi Jember, 2016).
Faktor penyebab terjadinya gagal ginjal kronis seperti glumerulonefritis kronis, nefropati diabetik, nekrosis hipertensi, penyakit ginjal polikistik dan pielonifritis kronis akan menyebabkan kerusakan struktur ginjal (Suharyanto & Madjid, 2013). Hipertrofi nefron akibat akibat kerusakan struktur ginjal akan menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glumerulus. Proses ini menyebabkan penurunan fungsi nefron yang progresif sehingga terjadi peningkatan renin-angiotensin-aldostreron. Peningkatan aktivitas ini akan menyebab kan hipetensi, hiperglikemia dan dislipidemia. Pada penurunan Gromerular filtration rate (GFR) dibawah 30% maka akan terjadi tanda gejala uremia yang menyebabkan gangguan keseimbangan cairan (Sudoyo, et al. 2010). Disamping itu ekskresi cairan dan natrium akan terganggu sehingga mengakibatkan ginjal tidak mampu dalam mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine sehingga dapat meningkatkan resiko edema (Sari, Purwanti & Indrastuti, 2016).
Deteksi dini kerusakan ginjal sangat penting untuk memberikan penatalaksanaan medis segera, sebelum terjadi kerusakan dan komplikasi lebih lanjut (Hidayati, 2013). Prinsip terapi pasien GKK mengacu pada terapi konservatif, simptomatik dan terapi pengganti ginjal. Terapi konservatif meliputi diet rendah protein, kebutuhan cairan bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat agar jumlah deuresis mencapai 2 liter per hari, kebutuhan elektrolit dengan pembatasan kadar kalium darah 3,5 – 5,5 mEq/lt. Sedangkan terapi simptomatik untuk mengurangi asidosis metabolic dengan koreksi kalium, anemia dengan transfusi darah dan mengurangi gejala uremia. Pada terapi pengganti ginjal dapat dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu GFR kurang dari 15 ml/menit dengan terapi hemodialisa.  (Husna, 2010). Peran perawat dalam pembatasan cairan dan elektrolit sangat penting karena mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Cairan yang keluar melalui urine maupun insensible water lose (IWL) yaitu sekitar 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh) harus di imbangi dengan intake 500-800 ml ditambah dengan jumlah urine (Sudoyo, et al. 2010). Pembatasan cairan terbukti meningkatkan prognosa pasien gagal ginjal kronis karena bertujuan mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler (Rahman, 2014). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami gagal ginjal kronik dengan kelebihan volume cairan.
1.2  Batasan Masalah
Masalah pada kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami gagal ginjal kronis dengan kelebihan volume cairan di RSD dr. Soebandi Jember.
1.3  Rumusan Masalah
Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada Pasien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik dengan Kelebihan Volume Cairan Di Ruang Adenium RSD dr. Soebandi Jember ?



1.4  Tujuan
1.4.1        Tujuan Umum
Melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Kelebihan Volume Cairan di ruang Adenium RSD dr. Soebandi Jember
1.4.2        Tujuan Khusus
1.      Melakukan pengkajian keperawatan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Kelebihan Volume Cairan di ruang Adenium RSD dr. Soebandi Jember
2.      Menetapkan diagnose keperawatan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Kelebihan Volume Cairan di ruang Adenium RSD dr. Soebandi Jember
3.      Menyusun perencanaan keperawatan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Kelebihan Volume Cairan di ruang Adenium RSD dr. Soebandi Jember
4.      Melaksanakan tindakan keperawatan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Kelebihan Volume Cairan di ruang Adenium RSD dr. Soebandi Jember
5.      Melakukan evaluasi keperawatan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Kelebihan Volume Cairan di ruang Adenium RSD dr. Soebandi Jember



1.5  Manfaat
1.5.1        Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik dengan kelebihan volume cairan. Selain itu dapat juga untuk memperkaya ilmu pengetahuan keperawatan. Hasil penelitian bisa dijadikan acuan perawat melakukan tindakan dirumah sakit sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan.
1.5.2        Manfaat Praktis
1.      Bagi Perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bisa dijadikan sebagai masukan untuk mengembangkan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik dengan kelebihan volume cairan
2.      Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan baik pihak rumah sakit dalam pengembangan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik dengan kelebihan volume cairan
3.      Institusi Pendidikan
Hasil penelitian diharapkan dapat di jadikan rujukan pengembangan ilmu dan berguna sebagai referensi mahasiswa dalam melakukan asuhan keperawatan gagal ginjal kronik.
4.      Bagi Pasien dan Keluarga
Hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah pengetahuan keluarga pasien dalam perawatan gagal ginjal kronik.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1         Konsep Gagal Ginjal Kronik
2.1.1   Definisi
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan ireversible dari berbagai penyebab (Suharyanto & madjid, 2013). Kerusakan tersebut terjadi lebih dari 3 bulan yang disertai kelainan struktur dan fungsional ginjal dengan atau tanpa terjadi penurunan laju filtrasi glumerulus (LFG) (Sudoyo, et al. 2010).
2.1.2   Etiologi
Menurut Suharyanto & madjid (2013) penyebab gaga ginjal kronik antara lain:
a.       Glumerulonefritis kronis
b.      Nefropati diabetik
c.       Nekrosis hipertensif
d.      Penyakit ginjal polikistik
e.       Pielonefritis kronis dan nefritis intestinal
Menurut Sudoyo, et al., (2010) klasifikasi penyakit gagal ginjal atas dasar diagnosis etiologi antara lain:
Tabel 2.2 Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronis atas dasar diagnosis etiologi
Penyakit
Tipe mayor
Penyakit ginjal diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glumerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskuler (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointestinal (pielonefritis kronis, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glumerular)
(Sumber: Sudoyo et al.,2010:1036).
2.1.3   Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Studarth (2014) tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang bersifat sistemik. Kerusakan ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Tanda dan gejala tersebut antara lain:
a.       Pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema periorbital
b.      Kulit kering dan priuritas
c.       Sesak napak, takipnea, pernapasan kusmaul
d.      Ulserasi dan pendarah mulut, napas bau amoniak, konstipasi, diare, mual dan muntah
e.       Kelemahan atau keletihan, konfusi
f.       Kram otot, kehilangan kekuatan otot, nyeri tulang
g.      Penurunan libidio
h.      Anemia dan trombositopenia
2.1.4   Klasifikasi
Menurut Ketut (2010) klasifikasi gagal ginjal kronik di dasarkan atas dua hal yaitu atas derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi derajat penyakit di buat atas dasar LFG, yang dihitung menggunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m3) = ((140-umur)xBB) : (72x Kreatinin Serum)
Sedangkan pada perumpuan hasil dikalikan 0,85
Tabel 2.1 Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik atas dasar derajat penyakit
Derajat
Penjelasan
LFG (ml/menit/1,7m3)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat
≥ 90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang
30-59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat
15-29
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
(Sumber: Masriadi, 2016: 215).
2.1.5   Patofisiologi
Patofisiologi gagal ginjal kronik pada awalnya tergantung penyakit yang mendasarinya. Selama proses terjadinya penyakit ini akan terjadi pengurangan massa ginjal yang dapat mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural dan fungsional nefron (Suharyanto & Madjid, 2013). Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glumerulus yang menyebabkan proteinuria. Hal ini mengakibatkan terjadinya maladaptasi berupa sklerosis nefron sehingga terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif (Sudoyo, et al. 2010). Adanya aktifitas renin angiotensin aldostreron yang ikut memberikan kontribusi terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Beberapa hal yang dianggap berperan dalam terjadinya progresifitas antara lain albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan dyslipidemia (Sudoyo, et al., 2010).
Pada stadium dini kehilangan daya cadang ginjal dengan keadaan LFG masih normal atau malah meningkat. Tetapi secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum (Susila et al., 2014). Pada pasien dengan LFG 60% belum terjadi keluhan (asimtomatik) tetapi telah terjadi peningkatan kreatinin serum dan urea. Pada LFG dibawah 30% mulai terjadi keluhan nokturia, badan lemah, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai LFG dibawah 30% akan memperlihatkan tanda dan gejala uremia karena gangguan reabsorsi ginjal seperti anemia, hipertensi, gangguan metabolisme kalsium dan pruritus. Sehingga pasien dapat mengalami gangguan keseimbangan cairan seperti hipo atau hipervolemia serta gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Ketika kerusakan ginjal semakin berlanjut atau LFG dibawah 15% maka akan terjadi komplikasi yang lebih serius sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain seperti dialisis dan transplantasi ginjal (Sudoyo, et al. 2010).

 
2.1.6   Komplikasi
Menurut Pranata dan Prabowo (2014) karena penyakit gagal ginjal bersifat ireversible maka akan menyebabkan gangguan pada sistemik karena terjadi penurunan fungsi ginjal. Komplikasi yang mungkin bisa terjadi antara lain:
1.      Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sistemik akan berdampak langsung terjadinya hipertensi, kelainan lipid, intoleransi glukosa.
2.      Anemia
Sekresi hormon etiroproetin yang mengalami defisiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.
3.      Disfungsi seksual
Gangguan sirkulasi pada ginjal akan menyebabkan penurunan libido dan terjadi impotensi pada pria serta hiperprolaktinemia pada perempuan.
4.      Penyakit tulang
Hipokalsemia akan secara langsung mengakibatkan dekalsifikasi matriks tulang sehingga dapat terjadi osteoporosis dan jika berlangsung lama akanb mengakibatkan fraktur patologis.
2.1.7   Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sudoyo et al. (2010) pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa gagal ginjal kronis antara lain:
1.      Gambaran laboratoris
a.       Sesuai penyakit yang mendasarinya
b.      Peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum
c.       Kelainan biokimia darah meliputi penurunan HB, peningkatan asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hipo atau hiperkloremia
d.      Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria
2.      Gambaran radiologis
a.       Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
b.      Pielografi intravena, jarang digunakan karena kekawatiran pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal
c.       USG ginjal, ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, hidronefrosis.
3.      Biopsi dan histopatologi ginjal
Dilakukan pada pasien yang ukuran ginjal masih mendekati normal yang bertujuan mengetahui etiologi, menetapkan terapi, dan prognosis.
2.1.8   Penatalaksanaan
Menurut Brunner & Studdart (2014) fungsi ginjal yang rusak sulit untuk dilakukan pengembalian, maka tujuan dari penatalaksanaan klien gagal ginjal kronis adalah mengoptimalkan fungsi ginjal yang masih ada. Penatalaksanaannya meliputi:
1.      Penatalaksanaan farmakologis
a.       Hiperfosfatemia dan hiperkalemia ditangani dengan pemberian agen pengikat fosfat dalam saluran cerna
b.      Hipertensi ditangani dengan obat antihipertensi dan pengontrol tekanan intravaskuler
c.       Edema pulmonal ditangani dengan pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuresis, agen inotropik.
d.      Observasi kelainan neurologik
e.       Anemia ditangani dengan rekombinan eritoproetin
2.      Terapi diet
a.       Pengaturan cermat asupan protein, asupan cairan dan asupan natrium serta kalium
b.      Pembatasan protein, yang diperbolehkan harus mengandung nilai biologis yang tinggi (produk susu, keju, telur, dan daging).
c.       Diet cairan sebesar 500 hingga 600 ml dan tidak boleh lebih dari jumlah halauran urin selama 24 jam.
d.      Asupan kalori dan vitamin harus mamadai. Kalori yang diberikan dalam bentuk karbohidrat dan lemak untuk mencegah pelisutan otot.
3.      Dialisis
Dialisis membantu untuk mengoptimalkan atau membantu fungsi ginjal. Umunya dilakukan untuk pasien yang tidak dapat mempertahankan gaya hidup yang wajar dengan penanganan konservatif.
4.      Pentalaksanaan keperawatan
a.       Kaji status cairan dan identifikasi sumber potensi ketidakseimbangan cairan dengan penimbangan berat badan setiap hari. Kolaborasi dengan medis jika terdapat perubahan lebih dari 1,5 kg dalam 24 jam.
b.      Terapkan program diet untuk menjamin asupan nutrisi yang memadai dan sesuai dengan batasan regimen terapai.
c.       Dukung peran positif dengan mendorong pasien untuk meningkatkan kemampuan perawatan diri dan lebih mandiri.
d.      Berikan penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarga terkait penyakit gagal ginjal kronik, pilihan pengobatan, dan kemungkinan komplikasi.
e.       Berikan dukungan emosional.


 
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (2008). Konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Yogyakarta: Salemba Medika.

Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset kesehatan dasar (riskedas 2013) Kementrian Republik Indonesia. Jakarta. (http://www.litbang.depkes.go.id) Diakses Pada Tanggal 23 Februari 2017).

Baradero, M., Dayrit, M.W., Siswadi, Y. (2009). Klien gangguan ginjal: seri asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.

Brunner & Struddart. (2014). Keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.

Damayanti, I.P., Pitriani, R., Ardhiyanti, Y. (2014). Keterampilan Dasar Kebidanan 1. Yogyakarta: Deepublish Publisher.

Hartono. (2010). Patofisiologi: Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.

Hidayati, W. (2013). Metode perawatan pasien gangguan sistem perkemihan aplikasi konsep orem “self care deficite” dan studi kasus. Jakarta: Prenademedia.

Husna, C. (2010). Gagal ginjal kronis dan penanganannya. Banda Aceh: Bagian Keperawatan Medikal Bedah Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. Maret 12, 2017. http://jurnal.unimus.ac.id/index.php.

Isroni, L., Istanti, Y.P., Soejono, S.K. (2013). Managemen cairan pada pasien HD untuk meningkatkan kualitas hidup di RSUD Dr. Harjono Ponorogo. Muhammadiyah journal of nursing. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Maret 16, 2017. http://journal.umy.ac.id/index.php.

Ketut dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K.M., Setiati, S. (2010). Buku ilmu penyakit dalam. Jakarta: Internal Publising.

Kuniawati, D.P., Widyawati, I.Y., Mariyanti, H. (2012). Edukasi dalam meningkatkan kepatuhan intake cairan pasien penyakit ginjal kronik (PGK) on hemodialisis. Surabaya: Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Maret 16, 2017. http://journal.unair.ac.id

Lusianah, Indaryani, E.D., Suratun. (2012). Prosedur Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.
Masriadi. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: CV Trans Info Media.

Nicolas, Gede A. (2012). Terapi hemodialisis sustained low efficiency daily dialysis pada pasien gagal ginjal kronik di ruang terapi intensif. Udayana: Bagian/SMF Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Maret 12, 2017. http://download.portalgaruda.org/article.php

Oxtavia, V., Jumaini, Lestari. (2013). Hubungan citra tubuh denga kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Riau: PSIK Universitas Riau. Maret 12, 2017. http://download.portalgaruda.org/article.php

Prabowo, E., Pranata, A.E. (2014). Buku ajar asuhan keperawatan sistem perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika

Rahman, A. (2014). Optimalisasi pembatasan cairan pada pasien gagal ginjal kronis yang mendapatkan hemodialisa di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta. Depok: Universitas Indonesia. Maret 12, 2017. http://lib.ui.ac.id

Rekam Medik RSUD dr. Soebandi Jember. (2016). Jember: RSUD dr. Soebandi Jember (http://jemberkab.go.id) diakses 29 Mei 2017.

Rendy, M.C., Margareth. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

Sari, L.R , Purwanti, O.S., Indrastuti. (2016). Upaya mencegah kelebihan volume cairan pada pasien ckd di rsud dr.soehadi prijonegoro. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Jurusan Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Maret 12, 2017. http://eprints.ums.ac.id

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K.M., Setiati, S. (2010). Buku ilmu penyakit dalam. Jakarta: Internal Publising.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Suharyanto & Madjid, A. (2013). Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan. Jakarta: CV. Trans Info Media

Sunyono. 2011. Tehnik wawancara dalam penelitian kualitatif. Surabaya: Fakultas Pendidikan Sains Universitas Negeri Surabaya. Maret 24, 2017. https://sunyonoms.files.wordpress.com
Susila, A., Ganiajri, F., Lestari, P.P., Sari, R.W.A. (2014). Keperawatan medikal bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Suyanto & Jihad, A. 2014. Cara Cepat Belajar Menulis Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta: Multi Presindo.

Tamsuri, A. (2009). Klien Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Jakarta: EGC.



LP dan Konsep Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik (CKD) LP dan Konsep Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik (CKD) Reviewed by Nasirul ulum on November 23, 2018 Rating: 5

No comments:

Laporan Pendahuluan Ileus

Laporan Pendahuluan Dan Konsep Asuhan Keperawatan Ileus

Powered by Blogger.